Imdad Durokhman |
Beberapa fakta adanya misi cari untung dari event demokrasi di masyarakat antara lain:
Pertama: Praktik Wuwur
Wuwur atau membagikan uang untuk membeli suara agar mendukung/ memilih pihak tertentu menjadi sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat pedesaan. Tanpa perasaan bersalah sedikitpun para calon pemimpin dengan percaya diri membagi-bagikan uang yang tidak sedikit ini kepada masyarakat yang nantinya akan mendukungnya tersebut. Tradisi yang sudah mengakar ini sangat berbahaya bilamana benar-benar tidak dapat dirubah nantinya, karena pasti lama-lama masyarakat akan memahami dan melumrahkan istilah "ada uang ada suara".. Ngeri bukan?
Kedua: Praktik Gentho (Judi)
Yang berkepentingan atas jadi atau tidaknya seorang kepala desa ternyata tidak hanya warga setempat di sebuah desa, ternyata pihak eksternal banyak yang memanfaatkan kondisi seperti halnya pemilihan kepala desa sebagai ajang taruhan dalam. Tidak tanggung-tanggung, orang yang terbiasa bermain dengan model seperti ini tidak pelit untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari adanya praktek taruhan atau perjudian dalam sebuah moment pemilihan kepala desa ini.
Ketiga: Praktik Dukun
Banyak Calon Kepala Desa sampai dengan detik ini masih mempercayai dukun atau orang pintar dalam upaya memenangkan persaingan mendapatkan posisi nomor satu di sebuah desa. Ada sebagian calon kepala desa yang kurang mantap saat ia mennyalonkan diri menjadi kepala desa sebelum berkonsultasi ataupun menggunakan jasa dari paranormal/ dukun atau sejenisnya.
Keempat: Bagi-bagi bengkok untuk masyarakat
Untuk memancing simpati masyarakat ada sebagian calon kepala desa yang membagikan jatah bengkok kepala desa untuk langsung dibagi-bagikan kepada masyarakat. Masyarakat yang diuntungkan dengan hal ini biasanya akan memberikan dukungan kepada calon kepala desa yang paling banyak memberikan jatah bengkok kepala desa kepada masyarakatnya. Alhasil dari beberapa kejadian, pada akhirnya kepala desa tidak menjalankan kewajibannya dengan serius dengan alasan bahwa semua harta miliknya sudah dibagi kepada warganya.
Kelima: Uang Saku Pemilih
Banyak golongan putih (golput) di desa yang membuat iklim demokrasi semakin tidak jelas nasibnya, bahkan beberapa pemilihan kepala desa harus memberikan uang saku kepada para pemilih yang mencoblos pada saat pemilihan kepala desa. Kondisi masyarakat yang saat ini, membuat masyarakat semakin hitung-hitung dalam semua aktifitasnya, sampai akhirnya apabila masyarakat harus libur bekerja karena harus datang ke TPS maka panitia pemilihan kepala desa harus bisa mengganti pendapatan masyarakat tersebut karena telah meninggalkan kerja dan menoblos dalam event pemilihan kepala desa.
Wuwur atau membagikan uang untuk membeli suara agar mendukung/ memilih pihak tertentu menjadi sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat pedesaan. Tanpa perasaan bersalah sedikitpun para calon pemimpin dengan percaya diri membagi-bagikan uang yang tidak sedikit ini kepada masyarakat yang nantinya akan mendukungnya tersebut. Tradisi yang sudah mengakar ini sangat berbahaya bilamana benar-benar tidak dapat dirubah nantinya, karena pasti lama-lama masyarakat akan memahami dan melumrahkan istilah "ada uang ada suara".. Ngeri bukan?
Kedua: Praktik Gentho (Judi)
Yang berkepentingan atas jadi atau tidaknya seorang kepala desa ternyata tidak hanya warga setempat di sebuah desa, ternyata pihak eksternal banyak yang memanfaatkan kondisi seperti halnya pemilihan kepala desa sebagai ajang taruhan dalam. Tidak tanggung-tanggung, orang yang terbiasa bermain dengan model seperti ini tidak pelit untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari adanya praktek taruhan atau perjudian dalam sebuah moment pemilihan kepala desa ini.
Ketiga: Praktik Dukun
Banyak Calon Kepala Desa sampai dengan detik ini masih mempercayai dukun atau orang pintar dalam upaya memenangkan persaingan mendapatkan posisi nomor satu di sebuah desa. Ada sebagian calon kepala desa yang kurang mantap saat ia mennyalonkan diri menjadi kepala desa sebelum berkonsultasi ataupun menggunakan jasa dari paranormal/ dukun atau sejenisnya.
Keempat: Bagi-bagi bengkok untuk masyarakat
Untuk memancing simpati masyarakat ada sebagian calon kepala desa yang membagikan jatah bengkok kepala desa untuk langsung dibagi-bagikan kepada masyarakat. Masyarakat yang diuntungkan dengan hal ini biasanya akan memberikan dukungan kepada calon kepala desa yang paling banyak memberikan jatah bengkok kepala desa kepada masyarakatnya. Alhasil dari beberapa kejadian, pada akhirnya kepala desa tidak menjalankan kewajibannya dengan serius dengan alasan bahwa semua harta miliknya sudah dibagi kepada warganya.
Kelima: Uang Saku Pemilih
Banyak golongan putih (golput) di desa yang membuat iklim demokrasi semakin tidak jelas nasibnya, bahkan beberapa pemilihan kepala desa harus memberikan uang saku kepada para pemilih yang mencoblos pada saat pemilihan kepala desa. Kondisi masyarakat yang saat ini, membuat masyarakat semakin hitung-hitung dalam semua aktifitasnya, sampai akhirnya apabila masyarakat harus libur bekerja karena harus datang ke TPS maka panitia pemilihan kepala desa harus bisa mengganti pendapatan masyarakat tersebut karena telah meninggalkan kerja dan menoblos dalam event pemilihan kepala desa.